Rabu, 06 Maret 2013

Kekalahan Perang Surabaya adalah Kekalahan Sukarno Bukan Kekalahan Rakyat Surabaya

Kekalahan Perang Surabaya adalah Kekalahan Sukarno Bukan Kekalahan Rakyat Surabaya
Di Medan Perang Justru Tentara Inggris dan NICA Digasak Arek-Arek Suroboyo

Oleh Heri Hidayat Makmun

Semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 membakar moral arek-arek Surabaya, terus gelorakan juga di Surabaya. Pada 3 September 1945, Residen Soedirman memproklamasikan Pemerintahan RI di Jawa Timur dan di sambut aksi pengibaran bendera di seluruh pelosok Surabaya. Perjuangan sejarah yang paling berdarah dalam efisode perjuangan kemerdekaan kita membangun semangat perjuangan yang luar biasa, hingga terjadilah Surabaya Inferno yang mengguggah bangsa tertindas bangkit melawan penjajah.

Pesawat terbang Belanda menyebarkan pamflet pengumuman bahwa Sekutu/Belanda akan mendarat di Surabaya yang menyebabkan orang Belanda dengan sombong mengibarkan bendera Belanda di Orange Hotel pada tanggal 19 September 1945, hal ini menimbulkan kemarahan arek-arek Suroboyo sehingga terjadilah insiden berdarah dengan terbuhuhnya Mr. Ploegman. Merah putih biru dirobek birunya dan berkibarlah Sang Merah Putih dengan megahnya di angkasa.

Tanggal 25 Oktober 1945 tentara Inggris mendarat di Surabaya, brigade ke-49 dengan kekuatan 6.000 serdadu dipimpin Brig. Jend. A.W.S. Mallaby, pasukan berpengalaman dari kancah perang dunia yang terdiri dari pasukan Gurkha dan Nepal dari India Utara. Esok harinya tanggal 26-27 Oktober 1945 beberapa pesawat Inggris menjatuhkan selebaran yang memerintahkan agar penduduk Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan senjata. Tanggal 28 Oktober 1945 terjadilah insiden di seluruh pelosok kota.

Politik diplomasi para Pemimpin Bangsa diperjuangkan. Berturut-turut pada jam 21.00 & 23.00 setelah lewat Pemerintah Pusat di Jakarta tidak berhasil merubah pendirian Pimpinan Tentara Inggris untuk mencabut ultimatumnya. Inggris tidak mengakui pemerintahan RI yang baru berdiri.

Puncaknya tanggal 30-31 Oktober 1945 tentara Inggris meninggalkan Gedung Internatio Brig. Mallaby meninggal, mobilnya meledak terbakar. Tanggal 9 Nopember 1945 ultimatum yang ditandatangani oleh May. Jend. E.S. Masergh Panglima Divisi Tentara Sekutu di Jawa Timur, minta rakyat menyerahkan senjata tanpa syarat sebelum jam 18.00 dan apabila tidak melaksanakan sampai jam 06.00 tanggal 10 Nopember 1945 pagi akan ditindak dengan kekuatan militer Angkatan darat, Laut dan Udara.

Gubernur Soerjo berpidato yang merupakan penegasan, "Lebih baik hancur daripada dijajah kembali" . Tanggal 10 Nopember 1945, terjadi pertempuran dahsyat di pelosok kota, perlawanan massal rakyat Surabaya melawan tentara Sekutu, sehingga korban berjatuhan di mana-mana, selama 18 hari Surabaya bagaikan neraka. Dengan hancurnya kubu laskar rakyat di Gunungsari pada tanggal 28 Nopember 1945 menyebabkan sementara seluruh Kota Surabaya jatuh ke tangan Sekutu

Pertempuran yang paling berdarah dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia ini meletus. Mulai pukul 06.00 kanonnade Inggris membombardir Surabaya dengan meriam-meriam dari Kapal Perang. Surabaya Utara benar-benar hujan ledakan. Pelabuhan, Gedung Pengadilan, Kantor PTT, Gedung-gedung Pemerintahan dan kampung-kampung hancur lebur. Orang pribumi, Arab, Cina yang berada pada daerah utara banyak yang menjadi korban. Lokasi-lokasi seperti Pasar Turi, Kramat Gantung, Maspati, Pasar Besar benar-benar rata dengan tanah.

Suara Bung Tomo yang menggelegarkan nusantara dari stasiun radio Pemberontakan mengudara. Rangkaian kata-kata yang membangkitkan bulu kuduk apalagi pada masa itu, pada masa sekarang saja kita masih bisa membayangkan betapa heroiknya para pemuda Indonesia yang secara gagah berani maju ke medan perang berhadapan dengan tentara Inggris dan NICA yang bersenjata modern, tetapi bagi para Pemuda Indonesia kehormatan dan kemuliaan bangsa Indonesia adalah nomor satu, biarkan hanya bersenjata bambu runcing, kelewang atau senapan bekas NIPON berlawanan harus dilakukan. Demikianlah pidato Bung Tomo yang heroik tersebut:

Bismillahirrahmanirrahiim.....
MERDEKA!!!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia,
Terutama, saudara-saudara penduduk kota Surabaya

Kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamlet-pamlet yang memberikan suatu ancaman kepaDa kita semua.
Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang kita rebut dari tentara Jepang.

Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan.
Mereka telah minta supaya kita semua datang kepada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda menyerah kepada mereka.




Saudara-saudara,
didalam pertempuran-pertempuran yang lampau, kita sekali lagi telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya
Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku,
Pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi,
Pemuda-pemuda yang berasal dari pulau Bali,

Pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan,
Pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera,
Pemudah Aceh, Pemuda Tapanuli, dan seluruh Pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini,

Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung,
telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol,
telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana.

Hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu, saudara-saudara
Dengan mendatangkan presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini, maka kita tunduk untuk menghentikan pertempuran.
Tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri, dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.

Saudara-saudara Kita semuanya,
Kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris ini.
Dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban Rakyat Indonesia,
Ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini,
Dengarkanlah ini hai tentara Inggris,
Ini jawaban Rakyat Surabaya..
Ini jawaban Pemuda Indonesia kepada koe sekalian
Hai tentara inggris!!!
Koe menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih takluk kepadamu,
menyuruh kita membawa senjata-senjata yang kita rampas dari Jepang untuk diserahkan keapda mu

Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa
koe sekalian akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan seluruh kekuatan yang ada,
tetapi inilah jawaban kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih,
maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!!!

Saudara-saudara rakyat Surabaya,
siaplah keadaan genting tetapi saja peringatkan sekali lagi, jangan mulau menembak,
baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu.

Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita, saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka.

Semboyan kita tetap: MERDEKA ATAU MATI.

Dan kita yakin, saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita
sebab Allah selalu berada di pihak yang benar
percayalah saudara-saudara,
Tuhan akan melindungai kita sekalian.

Allahu Akbar...!! Allahu Akbar...! Allahu Akbar...!!!
MERDEKA!!!

( Pidato Bung Tomo)

Ratusan ribu pejuang rakyat masuk kota Surabaya dari berbagai arah. Sementara Sekutu mengerahkan semua kekuatannya di Jawa Timur. Angkatan laut, udara dan darat mereka yang bersenjata modern dikerahkan semua. Jam 09.00 Inggris mulai juga melakukan aksi serangan udara, dengan menghujani bom-bom pada hampir seluruh daerah di Kota Surabaya dan pinggiran kota.

Hari pertama serangan Inggris dan NICA yang dimulai dari utara, tempat kapal-kapal perang mereka bersandar di pelabuhan ini tidak ada ampun banyak sekali rakyat kita yang menjadi korban. Pasukan Sekutu benar-benar pesta pembunuhan, wanita, orang tua, anak-anak mereka sikat tanpa ampun. Kampung-kampung yang sudah rata dengan tanah mereka masuki, jika ada rakyat yang masih terlihat hidup atau bergerak langsung mereka berondong.

Pukul 09.15 barulah fihak Indonesia mengeluarkan perintah untuk melancarkan serangan balasan, yang dilakukan secara ”jibaku”. Dengan tiada kesatuan pimpinan taktis dalam operasi ini, pemuda-pemuda TKR, Polisi, PRI, dan lain-lainnya berjuang seperti banteng yang mengamuk ke arah kolone-kolone dan posisi-posisi musuh. Hal ini menimbulkan korban yang tidak sedikit dikedua belah pihak.

Pada hari pertama ini garis pertahanan kita membujur dari barat ke timur kota Surabaya. Dari daerah Asem Jajar ke Selatan Pasar Turi. Melalui jalan kereta api yang tinggi samai Kali Mas dan sepanjang kali tersebut membelok ke utara sampai ke Jembatan Ferwerda, mengarah ketimur lagi melalui Kali Pegirikan. Di daerah Asem Jajar serangan-serangan balasan kita berhasil membuat pasukan musuh dipukul mundur. Kantor pos di utara berkali-kali pindah tangan dan akhirnya kita bumi hanguskan.

Hari kedua juga pertempuran ini masih kurang seimbang, tentara Sekutu masih mendominasi berbagai front pertempuran. Sehingga banyak pejuang kita yang menjadi suhada.

Pemuda-pemuda pemberani dengan gagah berani melawan tank-tank Sherman Inggis yang modern. Mereka ini bahkan berani mati menubrukkan diri ke tank-tank tersebut dengan membawa bahan peledak. Banyak sekali tank-tank sekutu yang rusak parah dan tewasnya pengendara didalamnya. Jika tank-tank ini rusak, para pejuang melembarkan bom bensin kedalamnya. Usaha-usaha ini tidak sia-sia banyak dari tank-tank tidak berani bergerak bebas. Mereka malah statis di satu tempat.

Rakyat Indonesia merupakan bangsa pemberani, walaupun berhadapan dengan senjata modern seperti tank-tank itu, mereka tidak takut bahkan dengan keberaniannya yang luarbiasa ini pasukan tank-tank Inggris ini malah yang takut untuk kelaur dari wilayah-wilayah yang mereka kuasa saja. Hal ini menguntungkan pejuang kita.

Senjata-senjata buatan Jepang dalam perang dunia kedua juga lumayan membantu, bahkan senjata berat ini merontokkan 2 pesawat udara Inggris dan menewaskan penumpangnya. Salah satu penumpang yang tewas adalah seorang perwira Inggris yang bernama Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds dari artireli.

Seluruh Indonesia pada waktu itu banyak yang memasang radionya siang-malam. Mendengarkan berita dan pidato-pidato dari Surabaya, termasuk suara Bung Tomo yang menggunakan stasiun ”Radio Pemberontakan” yang menggaungkan semangat perjuangan itu. Seluruh rakyat Indonesia merasa mencekam dan mendidih rasa nasionalismenya menunggu berita-berita dari suatu pertempuran antara rakyat bersenjata yang belum terlatih melawan pihak Sekutu yang menggunakan senjata modern dari laut, udara dan darat.

Tetapi seiring dengan bertambahnya perjuangan dari berbagai pelosok Surabaya dan suara lantang Bung Tomo dari Radio Perjuangan. Ratusan ribu perjuang rakyat yang datang bagaikan tawon itu tidak ada habis-habisnya. Dari Besuki, Malang, Kediri, Madiun, Bojonegoro, bahkan Semarang dan sebagainya.

Salah satu keberhasilan perjuang yang sangat penting adalah keberhasilan pejuang kita dengan menggunakan altireli buatan Jepang mampu merusak lapangan terbang musuh. Sehingga nyaris pesawat terbang Inggris tidak dapat mengudara dalam beberapa hari.

Pada hari keempat, 13 November 1945 pertempuran terus berjalan dengan hebat. Garis pertahanan kita masih membujur dari barat ke timur. Dari daerah Asem Jajah keselatan Pasar Turi, Rel kereta yang tinggi hingga Kali Mas. Di daerah Asem Jajar kita dapat memukul mundur Sekutu.

Hati ketiga ini Tank-Tank Shermen sudah benar-benar tidak digunakan lagi. Kita dapat secara efektif menghancurkan tank tersebut bersama 3 atau 5 tentara didalamnya hanya dengan satu atau dua orang pemuda berani mati kita. Musuh kita benar-benar kapok menggunakan tank-tank ini.

Bombardemen dari laut menjadi menggila pada hari ini. Dari kampung-kampung dekat pelabuhan sampai Simpang Lonceng benar-benar luluh lantak.

Pada hari ini kemenangan kita adalah pada logistik pemberian makanan. Makanan berupa nasi bungkus, ketela pohon, pisang dan lain-lain membanjir masuk kota. Sehingga dimanapun posisi pejuang nyaris tidak sulit dalam menemukan makanan. Pada umumnya makanan-makanan ini mengalir dari luar kota.

Simpati rakyat kita demikian besarnya sehingga hal ini benar-benar mempermudah para pejuang kita dalam medan pertempuran. Demikian membanjirnya makanan bahkan banyak makanan yang membasi karena tidak tertempung lagi. Lucunya nasi-nasi basi yang telah dibuang pejuang kita ini malah diambil oleh tentara Inggris untuk mereka makan. Kasihan ya? Atau Mampus ya?

Hari Kelima tanggal 14 November 1945. Pertempuran berjalan terus. Pasukan sekutu mulai terdesak, kekuatan mereka melemah setelah tank-tank tidak beroperasi. Tiga pesawat musuh di lapangan udara juga berhasil dihancurkan pejuang kita.

Pada hari inipun serangan-serangan kita sudah mulai teratur, konsolidasi kita dibawah bombardir musuh cukup sukses. BKR mulai bisa mengatur pembagian tugas-tugas pertempuran untuk pertama kalinya, yakni sektor timur, tengah dan utara.

Sektor Timur dipimpin oleh Mayor Kadim dari TKR, posnya berada di Karangmenjangan. Pasukan-pasukan yang dilibatkan pada sektor ini, yaitu: PA Laut ( Letnan Kolonel Sutejo Eko), PRI (Sidik Arslan),

Lama kelamaan kekuatan RI semakin solid, apalagi bantuan pejuang dari Madura, Bali, Malang, Semarang, Blitar, Kudus, Jokjakarta dan sekitarnya banyak yang sudah datang. TKR, Polisi, PRI, Laskar-laskar kampung, petani, pelajar, ulama, santri, pedagang, guru semuanya bercampur baru menjadi satu. Pada berbagai front bahkan tangsi-tangsi yang berisi pasukan Sekutu mulai terdengar santer bahwa amunisi mereka sudah mulai terkuras. Tembak-tembakan mereka hampir-hampir jarang.

Ada sebagian pejuang kita yang dengan keyakinan penuh, menyebut Allahhu Akbar, Allahu Akbar masuk keberbagai tangsi-tanski tersebut dan berjibaku jarak dekat. Satu demi satu cara-cara seperti ini mulai melumpuhkan kekuatan Sekutu.

Tentara Sekutu semakin lama semakin kelelahan, mereka tidak tidur dan juga tidak sempat makan. Serangan yang tidak ada habisnya dari berbagai penjuru membuat tentara Sekutu merasa berada di neraka. Sedangkan pejuang dapat melakukan itu dengan keluar wilayah pertempuran di luar Surabaya atau masuk ke perkampungan.

Serbuan para pejuang kita ke pos-pos pertahanan Sekutu diperkuat juga dengan aksi blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah.

Suplai-suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan hampir semua jatuh ke tangan pasukan Indonesia.

Faktor ini sangat mempengaruhi moral dan kekuatan pasukan Sekutu di Surabaya. Sementara bantuan Sekutu dari Jakarta dan Jawa Barat belum bisa datang, karena berbagai hadangan pasukan TKR pimpinan Jendral Sudirman dan pejuang rakyat di Malang, Semarang, Blitar dan daerah-daerah perjalanan penuh dengan pertempuran yang sama beratnya.

Wajar saja jika tentara Sekutu lama-kelamaan moralnya semakin hancur dan stamina semakin terkuras. Mereka benar-benar merinding ketakutan karena pasukan pejuang yang tidak ada habisnya. Bahkan ada beberapa tangsi mereka yang mengibarkan bendera putih, tetapi pejuang rakyat yang berasal dari berbagai laskar itu tidak mengerti aturan pertempuran, malah masuk dan berramai-ramai menggasak habis mereka.

Bayangkan saja tentara sekutu yang di boncengi NICA dengan kekuatan terbesar di Asia Tenggara pada akhirnya terdesak. Sementara bantuan pasukan Sekutu dari Jakarta dan Jawa Barat masih dalam perjalanan yang penuh dengan penghadangan.

Saat-saat terdesak ini mereka pada akhirnya Admiral Helfrich meminta tolong Presiden Sukarno untuk menghentikan serangan rakyat yang tabur seperti lebah, mati satu datang seribu. Tidak ada malu sedikit pun padahal sebelumnya pada saat para Pemimpin Bangsa ini meminta untuk menghentikan ultimatum, mereka tidak mengakui pemerintah RI.

Secara jujur seperti yang diakuinya dalam Memories Admiral Helfrich menggambarkan betapa sukarnya keadaan pasukan Inggris. Amunisi yang terbatas, kelaparan, terjepit dimana-mana, sehingga seandainya saja pada waktu itu Presiden Sukarno tidak memberi pertolongan agar Presiden Sukarno memerintahkan untuk menghentikan perang, maka ia bersedia untuk mencium kaki untuk bantuan tersebut.

Sayangnya pada waktu itu Presiden Sukarno tidak mengetahui kekuatan bangsanya sendiri yang berjuang dimedan pertempuran. Pikirannya selalu dipenuhi oleh perjuangan diplomasinya.

Dalam konferensi di Jakarta yang dilakukan pihak Sekutu pada tanggal 23 November 1945 dan Konferensi Singapura pada tanggal 6 Desember 1945 diantara panglima-panglima mereka. Mereka sepakat untuk tidak memasuki lagi Surabaya, dan pasukan dikonsentrasikan di Jawa Barat karena faktor psikologis perang ini.

Pada awalnya memang Inggris terlalu PD pasa saat datang ke negeri ini. Mereka tidak tahu kekuatan bangsa Indonesia yang sesungguhnya sangat besar dan kuat. Inggris datang sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23 yang menyandang julukan kebanggaan “The Fighting Cock”, mempunyai pengalaman tempur melawan Jepang di hutan-rimba Burma.
Dalam pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka “dipaksa” oleh rakyat Surabaya mengibarkan bendera putih dan mereka yang MEMINTA BERUNDING. Suatu hal yang tentu sangat memalukan dan menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga akan diserang, sehingga persiapan pertahanan hampir tidak ada, yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Inggris.
Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama lebih dari lima tahun PD-II, mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun. Ternyata baru lima hari di Surabaya, mereka telah kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir Jenderal Mallaby.
Dua pesawat terbang mereka juga berhasil ditembak jatuh oleh pejuang Indonesia. Selain pilot pesawat, Osborne, korban yang tewas sehari kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan Loder-Symonds dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta Selatan.

Akhirnya mereka mengakui walaupun memengkan perang melawan Jepang, ternyata melawan rakyat Indonesia jauh lebih sulit. Juga dijelaskan walaupun kemenangan pada akhirnya tetapi sebenarnya karena ada faktor diplomasi kepada pemimpin-pemimpin Indonesia untuk tidak mengerahkan tentaranya ke Surabaya, dan memang pemerintah pusat di Jakarta waktu itu pernah melarang untuk berperang melawan tentara Sekutu.

Atas dasar kepentingan diplomasi di dunia internasional Sukarno pada akhirnya meminta TKR dan para pejuang rakyat untuk menghentikan serangan dan mundur. TKR dan tentara rakyat diminta untuk melakukan cease fire. Walaupun dengan berat hati, para pejuang ini mematuhi perintah pemimpin pemerintahan yang masih baru ini.

Di satu sisi rakyat Surabaya sebenarnya ingin menunjukkan kepada Sekutu dan dunia internasional bahwa pemerintahan kita adalah memerintahan yang berdaulat yang dipatuhi oleh rakyatnya. Hal ini yang mau tidak mau membuat mereka mematuhi keputusan itu.

TKI dan tentara pelajar berusaha melakuan konsolidasi untuk menghentikan sementara serangan. Walaupun disana sini masih ada suara letusan dan ledakan tetapi secara umum pertempuran sudah jauh berkurang.

Para pejuang yang dikomandani langsung oleh Jenderal Sudirman pun ditarik, sehingga iring-iringan bantuan militer Divisi 5, amunisi dan bantuan logistik ke Surabaya dapat dikatakan berjalan lancar. Saat dimana menjadi titik balik kemenangan sekutu akan tiba. Jadi perlu diperhatikan disini bahwa kekalahan kita ini dalam pertempuran di Surabaya,sebenarnya bukan lemahnya kita dalam pertempuran tersebut tetapi karena faktor disiplim TKR, BKR dan tentara terdidik lainnya yang masih berupaya untuk mematuhi keputusan pimpinan pusat.

Bisa dibilang sebenarnya kita tidak kalah dalam perang Surabaya ini, tetapi karena faktor lain yaitu pertimbangan diplomasi pimpinan pusat maka kita mengalah. Coba bayangkan jika Divisi 5 yang akan ke Surabaya terus dihambat oleh pasukan yang dikomandoi Jenderal Sudirman ini di Malang, Semarang dan Belitar sekitarnya ini berjalan terus dan tidak dihentikan karena permintaan pimpinan pusat di Jakarta, maka tentara Inggris di Surabaya benar-benar akan lumpuh.

Seandainya para pemimpin kita tidak memperdulikan permintaan Sekutu untuk menghentikan para pejuang kita, maka benar-benar habis dan matilah tentara Sekutu, baik yang ada di Surabaya, Semarang dan Malang.

Walaupun tentara inilah yang satuan-satuan pasukan Sekutu terkuat di Asia Tenggara. Kesatuan-kesatuan Sekutu inilah yang masuk ada paling jauh untuk memukul pasukan Jepang. Tetapi hanya meminta-minta dan merengek agar pada para Pemimpin Bangsa waktu itu untuk menghentikan serangan rakyat itu dan datang ke Surabaya.

Tidak akan ada gunanya lagi pasukan dari Jakarta dan Jawa Barat datang ke Surabaya jika datang hanya datang dengan merinding ketakutan, bulu kuduk berdiri dan moral yang turun melihat teman-temannya di Surabaya sudah di sate para arek-arek Suroboyo yang marahnya sudah alang kepalang. Tidak ada gunanya lagi. Tentu mereka datang untuk perperang dengan moral yang sangat rendah dan pasukan yang sudah sedikit, dan pada akhirnya hanya sebagai korban yang bakal disate berikutnya.

Kesempatan yang diberikan oleh para pemimpin Indonesia waktu itu benar-benar dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh Sekutu. Pasukan sekutu merapihkan barisan, peluang untuk bernapas yang memberikan kesempatan pasukan dari Jakarta dan Jawa Barat untuk segera datang ke Surabaya dengan kekuatan penuh. Dengan segala kekuatan persenjataan modern mereka. Dengan bantuan pasukan udara yang jauh lebih masif.

Sebenarnya pada saat yang sama hampir 1,2 juta pejuang dari berbagai tempat seperti Jawa Barat, Bali, NTB, Makasar, Lampung, Jambi bahkan Medan sedang menuju tempat yang sama, Surabaya. Walaupun setelah tentara dai Jakarta, Jawa Barat Semarang tiba di Surabaya sekutu kembali dapat bertahan tetapi ada saat dimana pihak sekutu benar-benar bisa dikalahkan asalkan para pemimpin pada waktu itu berpikir untuk melakukan perang total tanpa ada perjuangan diplomasi.

Perjuangan diplomasi kita menghapuskan peluang kita, tetapi perjuangan diplomasi kita disaat yang lain juga mendatangkan kesempatan yang lain. Tetapi tentunya dengan cerita yang lain. Cerita yang seakan-akan kita merdeka dengan diberi kesempatan oleh Komisi Tiga Negara sebagai refresentasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk terjadinya perdamaian antara Indonesia dan Belanda.

Lagi seandainya saja kita benar-benar perang total waktu itu, maka Inggris akan benar-benar bertekuk lutut. Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya.
Seperti kesaksian kesaksian Kapten R.C. Smith yang memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:
”The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).

Jika Bangsa Indonesia sebagai pemenang perang, maka kita dapat menuntut Inggris dan Belanda sebagai negara yang kalah perang. Mereka harus bayar apa yang kita tuntut. Kita akan menjadi bangsa yang benar-benar disegani, tidak seperti sekarang yang menganggap remeh.

Ternyata sikap kesatria kita untuk memberikan kesempatan bernapas pada musuh yang sudah hampir kalah walau sekali tebas saja harus dibayar mahal dengan terjadinya kekalahan dalam perang Surabaya waktu itu, karena mereka mendapat kesempatan untuk memperkuat dan mengkonsolidasikan lagi barisanya dan kecepatan pergerakan pasukan Inggris yang bersenjata modern dan memiliki fasilitas mobilitas yang mumpuni jauh lebih cepat dari pada pasukan BKR kita yang berjalan kaki saja dari berbagai tempat yang cukup jauh. Inilah kekalahan kita waktu itu.

Mungkin kita memang lebih memilih untuk menjadi bangsa ksatria dari pada sebagai bangsa pemenang, atau sebenarnya pemimpin bangsa kita yang tidak siap untuk menjadi pemenang? Apa mungkin ini juga yang menyebabkan kita lambat untuk bangkit? Akibat terlalu sering mengalah pada percaturan politik internasional.

Seharusnya waktu itu para pemimpin bangsa kita mengetahui tentang adanya tugas rahasia yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda. Ini hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda.

Dari sini kita bisa lihat bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh Inggris. Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945.

Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees).

Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi British-Indian Divisions secara lengkap telah mendarat di Jawa dan Sumatera.

Sumber data dan informasi :
- Dr. A.H. Nasution, ”Diplomasi atau Bertempur oleh Dr. A.H. Nasution”
- Sutomo, ”Pertempuran 10 November 1945 Kesaksian dan Pengalaman Seorang Aktor” Sejarah”
- Perpustakaan DHD 45 Propinsi Jatim, ” 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar